Undying Love capitulo kesekian

“Bagaimana mungkin seorang guru menjelaskan hal yang percuma saja kepada muridnya dengan cuma-cuma. Maksudku, kata-kata dan waktunya terkuras habis memperjuangkan apa yang diharapkannya menjadi baik. Maksudku lagi, aku tidak mengerti dengan apa yang ia ajarkan padaku, bahkan aku piker semua murid menganggap hal sedemikian rupa.”, kutip Legra, panjang lebar.

Saat itu kebetulan sekali aku berada tepat di tengah balkon lantai 2 di sekolahku, berdiri menyeringai menatap langit-langit biru, yang saat-saat itu angin berhembus begitu tenang, mentari bersinar begitu ramah, panasnya tak terik seperti hari-hari yang lalu. Namun, sinarnya tetap ada, seolah ingin menjadi saksi antara aku dan sahabat terindahku, Mark. Yang sama-sama termenung menahan rasa yang padahal keduanya memiliki waktu yang lebih untuk bersama.
Mark mendengarku mengatakan hal sedemikian rupa, terhenti dari aktivitas lengannya yang memainkan setiap batas aluminium yang terangkai indah untuk Mark jadikan pengingat setiap waktunya.
Memalingkan perhatian, “Mengapa bicara mu begitu? Apa? Siapa? Pelajaran apa maksudnya?”, Tanya Mark, heran.

Aku menghela nafas seketika melihatnya. Tatapan matanya yang paling ku suka darinya. Jujur saja, aku nyaman bersamanya, aku kerasan ingin selalu berada didekatnya. Tapi, setiap kali Mark melihatku dengan pandangan seperti itu, rasanya aku ingin terjun saja dari lantai 2, dan berharap cepat-cepat menghilang dari hadapannya ditelan bumi.
Aku bingung, bagaimana mungkin aku bias memiliki sertifikat “bersahabat dengan Mark”, pada kenyataannya bicara dengannya saja aku gugup setengah mati.
“E, erm accounting!”, seruku, berusaha secepat mungkin mengibaskan perhatianku dari tatapan Mark.
“Oo itu, sebenarnya memang sulit, tapi aku bisa selesai lebih dulu daripadamu, begitu kan?”, Tanya Mark, tersenyum.

Oo tidak! Aku bahkan tidak mempu meliriknya sama sekali, tapi senyumannya? Masih saja dapat ku rasakan. Jantungku tidak bisa mengendalikan kontrol lebih lama lagi. Berdetak begitu kencang melebihi detak jantung orang normal pada umumnya.
Pandanganku tetap lurus, tertuju pada apa yang ku lihat, tapi bukan Mark. Langit-langit yang buram. Seperti semua gelap yang ku lihat bahkan aku ingin terjatuh saja ditatapnya.
“Mark, ….”, aku membuka mulutku namun terpotong dan hentak terdiam dihadapannya.
Ke empat sahabatku yang lainnya dating secara bersamaan kea rah dimana aku dan Mark bersama, tentu saja aku cepat-cepat menutup mulutku. Terlebih ketika aku melihat Shane tersenyum dari kejauhan melihatku. Aku sontak tersenyum padanya, Mark melihatku tersenyum dan dengan segera memalingkan badan kea rah berlawanan.
“Wow, wow, wow 2 sahabat terbaikku sepertinya dalam keadaan yang begitu serius…”, melihat kian, “Sepertinya kedatangan kita sangat tepat!”, seru Brian, mencari masalah.
Tenang, “Tidak kami sedang santai..”, erang Mark.
Melihat Brian, “Bicara apa kau ini?”, Tanya Kian, dengan heran.
“Legra, cepat ikut dengan ku!”, seru Shane, menganggukan kepalanya kea rah pintu sambil meraih tanganku.
“Pablo, Danise, Rena, Ciara….”, teriak Brian, “Lihatlah kemari!”, seru Brian, berperilaku bodoh. Melirik kea rah tangan Shane yang menggenggamku.
Semua perhatian tertuju pada Brian. Selena yang sengaja mencari-cari arah suara tersebut pun terhentak tak karuan melihatku dan selalu berpikir bahwa gayaku sok bagaikan putri kerajaan itu menyeringai kesal. Selena, aku sempat satu kelas dengannya sewaktu kelas 1, dia baik sih tapi semenjak kita kelas 2 dan dia tahu aku sekelas dengan Mark, dia begitu sinis denganku. Selena menyukai Mark sejak kelas 1. Aku bahkan tak pernah berjumpa dengan Mark sewaktu itu. Apalagi, aku yakin sekali, sekarang ini Selena tahu aku selalu bersama dengan Mark, dan bagaimana jika Selena tahu kalau sebenarnya aku bersahabat dengan Mark? Selena pasti semakin mencibirku dengan kata-katanya yang pedas. Perawakannya yang tinggi semakin memungkinkan baginya untuk membuatku lemah dihadapannya.
Dengan tegas dan lantang, “LEGRA PARA LOGRAR SIEMPRE!”, seru Selena, mengacaukan hariku.
Aku melintas dihadapannya, Selena beralih dari perbincangannya bersama teman-temannya menjumpaiku. Aku terhenti dari langkahku. Selena menyerukan namaku, maksudku bukan namaku. Tanganku ditariknya kencang-kencang dan dibawanya kepojokan. Lantas aku tak mungkin diam begitu saja. Aku akan membuat perhitungan pada Selena. Biar saja dia tahu perrlakuannya seperti itu kepadaku sangat tidak pantas.
“Nama asliku Legra Garagoza Salinas bukan Legra Para Lograr Siempre atau apapun itu, dan jangan pernah memanggil namaku selengkap itu. Tak ada yang mengetahuinya selain orangtua ku.”, kutipku dengan oktaf tinggi.
Aku tak pernah memakai nama tengahku dalam keadaan apapun dan orangtua ku pun menyetujuinya. Aku bertaruh, ke lima sahabatku pasti juga tidak tahu tentang nama tengahku. Yang mereka tahu, namaku adalah “Legra Gee Salinas”. Iya aku seperti pembohong besar, mana mungkin aku pantas menyembunyikan nama tengahku sedemikian rapih sekitar 12 tahun lamanya. Sekarang Selena adalah orang pertama yang mengetahui nama asliku, dan bodoh sekali dia merubah namaku menjadi semakin aneh untuk didengar.
“Kenapa? Kamu malu mengakui namamu sendiri? Orangtuamu terlalu buruk ya memberi nama padamu, huh? Haha!”, Selena menyeringai mengalihkan perhatiannya dengan wajahnya yang ingin sekali aku menamparnya dan menjambak rambut panjangnya yang buruk itu. “Aku bilang padamu ya.. jauhi Mark! Atu aku akan pampang nama lengkapmu yang buruk itu di mading!”, tekan Selena.
Hah? Aku menarik nafasku dalam-dalam, rasanya aneh lagi-lagi Mark yang Selena permasalahkan. Aku tahu maunya apa tanpa harus dia memintaku, tapi asal tahu saja waktuku terbuang sia-sia beberapa menit saja dengan harus meladeninya.
Menunjuk Selena, “Namaku tidak seburuk itu. Pergi saja kamu sekarang. Aku bilang padamu ya, aku takan pernah menjauh dari Mark!”, seruku, melototinya.
Whatever you say anything, I will put your worse name on a wall, then everybody will laugh singing special song for you!”, seru Selena, melototiku kembali dan berlalu.

Aku tersandar saat Selena meninggalkanku sendiri. Perasaanku sedih, bukan sekali dua kali Selena seperti ini padaku tapi sudah sangat sering. Aku tidak pernah tahu bagaimana jika kelima sahabatku tahu tentang perlakuan buruk Selena padaku?
Aku segera meneruskan langkahku. Aku harus pulang, jam pelajaran sudah berlalu. Saat itu aku tiba dirumah. Kakakku Beezus sedang bersantai di sofa yang panjang dan empuk sambil mencicipi kue dan menonton film kesukaannya. Dia melihatku dan menyapaku, “Adikku, Princess Legra kemarilah kakak punya sesuatu untukmu…”, terbangundari caranya yang santai menikmati hidup.
Aku menjumpainya dengan berat hati namun aku berpura-pura seperti senang kembali pulang setelah bersenang ria menuntut ilmu. Padahal kenyataannya, tidak! Aku membongkar habis rahasia terbesar dalam hidupku untuk tidak lagi membahas tentang nama tengahku.
“Apa kak?”, tanyaku, bertindak antusias.
“Kita punya tetangga baru..”, ucap kakakku, tersenyum padaku begitu ramah.

Kakakku bernama Beezus Vivianne Salinas. Aneh sekali bukan namanya? Entahlah keluargaku seperti begitu aneh memberikan nama yang tidak biasa digunakan oleh manusia-manusia normal pada hakikatnya. Namun kakakku jauh lebih aneh, mau menerima nama itu begitu saja dan seperti membuat pengumuman bahwa dia begitu bangga dengan nama anehnya. Dia memang sedikit rese, sangat rese malahan, rese dan sangat suka mengatur-atur hidupku. Baginya aku adalah Princess. Dia piker aku begitu cantik dan sempurna. Rambutku hitam panjang dan bergelombang, berkulit tidak terlalu putih, dengan tinggi semampai, dan bermata indah. Ya, mungkin aku adalah orang yang paling beruntung. Kakakku begitu menyayangi dan memanjakanku. Tapi, aku sedikit kerepotan akan tingkahnya yang mengatur-atur hidupku lebih dari yang ayah ibu ku lakukan.
Aku memalingkan wajahku, menarik nafas dalam-dalam dan kembali menatap kakakku, tersenyum, “Baiklah kakakku tersayang, itu sesuatu yang sangat menyenangkan.”, melihat jam yang melingkar ditanganku. “Sudah hamper 5 menit kita bicara, aku masih ada jam dengan ayah dan ibuku. Aku saying padamu, bye!”, seruku, sesegera mungkin bergegas agar kakakku tidak menggapaiku.
Tapi sayangnya aku gagal melarikan diri darinya, secepat mungkin dia menyerukan namaku, dan aku harus menuruti kemauannya.
“Legra, duduk!”, seru kakakku.
Aku membalikan badan dan mundur beberapa langkah menjumpainya.
“Aku tidak mau kenalan apalagi sampai berkunjung ke rumah barunya kak. Biarkan saja mereka jadi tetangga kita tapi aku tak peduli lagi dengan yang lainnya!”, seruku, panjang lebar meyakinkannya.
“Iiiihhh Legra, justru kakak ingin kamu berkenalan dengannya. Dia pria yang tampan, usianya 2 tahun lebih tua dari mu…”, ucap kakakku, terpotong.
“….Aku masih muda kak!”, sentakku.
Wajahku sudah tak karuan, aku lelah 100%. Hari ini di sekolah berurusan dengan wanita paling payah yang pernah ku jumpai, dan sekarang harus berhadapan dengan kakakku yang paling berlebihan sedunia. Mengatur dan menjagaku sesuka hatinya.
“Ya ya ya, kamu piker kakak menikah di umur berapa? 20 tahun, itu artinya 3 tahun lagi kamu akan menikah Legra..”, ujar Beezus, memandangiku.
“Ibu………..”, teriakku, “Kakak memintaku menikah diusia sepertinya ibu!”, seruku, merengek.
Aku melihat ke tangga dan ibu menuruni tangga untuk memastikan aku baik-baik saja.
“Kalian kenapa?”, Tanya Ibu.
“Ibu, kakak bilang aku akan menikah diumur 20 tahun, umur yang sama seperti dulu kakak menikah.”, ungkapku, memandang ibu dengan penuh haru.
“Beezus, jangan limpahkan amarah itu pada adikmu.”, ucap ibu, menyeringai tersenyum kepada kakak.
Ibu mempermainkanku, aku tahu ibu sekongkol dengan kakak. Ibu pasti sudah membicarakan tetangga baru itu dengan kakak sebelumnya, dan kini aku benar-benar marah bergegas tak memperdulikan mereka menuju ruangan yang paling bersahabat dan mengerti denganku.
Aku berharap Ibu memanggilku dari kejauhan atau mengejarku, tapi nyatanya Ibu dan kakakku cekikikan di belakangku. Aku mendengar tawa kakak yang mengejekku. Seharusnya kakak urusi Ramona saja, tunggui dia di ruang tunggu di sekolahnya sampai Ramona selesai dari belajarnya dan membawanya kembali pulang.
“Ibu, Beezus suka sekali menggoda Legra sampai dia marah.. hihi!”, pekik Beezus.
“Bee, jangan bicarakan tentang pernikahan dihadapannya, dia belum begitu paham tentang apa yang kamu bicarakan..”, erang Ibu, duduk di sebelah Beezus.
Sebenarnya kakakku itu makhluk dari planet mana sih? Apa kakakku sejenis lebah atau domba? Nama dan panggilannya begitu aneh. Seharusnya Beezus sekolah lebih tinggi agar dia mengerti namanya begitu buruk dan harus diganti.
Mengelak, “Baiklah Ibu, tapi kita harus mengajak Legra mengunjungi tetangga baru, ibu...,” berbisik, “Anaknya sangat tampan, Legra pasti suka dengannya.”, tutur Beezus.
Benarkan yang ku kira, mereka masih saja membicarakan tetangga baru itu. Mereka tidak tahu aku mengawasi mereka dari kejauhan. Aku dengar apa yang mereka katakan. Memang penting ya berkenalan? Nanti juga kenal dengan sendirinya. Setiap hari aku mondar-mandir melewati halaman rumah lagipua, jadi cepat atau lambat tetangga baru itu pasti mengenalku.
Tersenyum, “Dasar anak nakal! Sana jemput Ramona dulu di sekolahnya..”, ujar Ibu, bergegas dari tempat duduknya.

Beezus terbangun, seperti tersadar bahwa ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar mengurusiku. Ia memakai sweater vanilanya dan mematikan TV lalu merapihkan meja yang saat itu keadaannya cukup berantakan, sehabis dia bersenang-senang menikmati hidupnya. Ramona itu keponakanku. Aku sayang padanya. Dia gadis cantik dan manis, banyak yang bilang dia mirip denganku, dan kakakku sangat bahagia karena separuh bagianku ada pada Ramona. Dia berumur 4 tahun. Pappa nya bernama George, hahaha aku pernah tertawa terpingkal-pingkal kepada kakakku tercantik itu sewaktu pertama kali dia memberi nama Ramona. Aku pikir keluarga ini terlahir dari planet tersembunyi dan aku curiga sebenarnya ada planet lain sesudah Pluto dan sebenarnya jumlah planet yang terhitung itu bukan sembilan tapi sepuluh, dan keluarga kakakku berasal dari planet ke 10 itu hahaha. Apa? George? Aku teringat akan serial film kesukaanku Tarzan dan dia adalah monyetnya. Oops! Kepalaku digetok oleh Beezus, selepas tawaku yang tak henti-hentinya begitu puas. Jahat sekali, untung saja bukan palu atau batu jeruji besar yang dia gunakan untuk memukul kepalaku. Kalau sampai terjadi mungkin aku sudah hilang ingatan atau tak pernah mungkin berjumpa dengan sahabat-sahabatku.
Walau aneh, harus ku akui kakak iparku itu lumayan tampan, sedikit mempesona dan sangat baik padaku. Sangat berbanding jauh dengan karakter monyet di serial favoritku. Aku cukup dekat dengannya. Dia tidak menyebalkan seperti kakakku. George itu Teknisi Komputer sekaligus Akuntan di kantornya yang berpusat di ibu kota dan kakakku lah pengembang perangkat lunaknya. Mungkin bahasa kerennya kakakku Designer. Kakakku mengelola butik yang dia sendiri perancangnya. Tapi, kakakku juga mempunyai pegawai didalamnya.

Setelah berpamitan pada ibu, kakakku segera bergegas. Tenang saja sudah biasa aku dibuat kesal olehnya. Taruhan, esok dia pasti akan kembali.
Ibu menaiki tangga, berjalan ke arah kamarku dengan membawakan aku minuman dingin. Mungkin untuk mendinginkan hati ku yang panas. Ibu sangat tahu bagaimana cara dia untuk mencairkan suasana.
“Zee...”, sahut Ibu, mengetuk pintu.
Aku cepat-cepat bergegas dari tempat tidurku untuk membukakan pintu. Aku terhentak mendengar Ibu yang selalu memanggil namaku dengan sebutan Zee. Meski itu nama pilihanku, tapi aku lebih suka dipanggil Legra saja. Mengapa Ibu sangat suka menyingkat-nyingkat nama anak-anaknya. Sudah Bee lalu Zee, apa lagi? Tapi memang lebih aneh jika Ibu menyingkat namaku dengan misalnya, Le atau Gra. Hentakan kakiku membuatku menerima apa adanya yang Ibu dan Ayahku beri untukku.
Aku membuka pintu dan memandanginya, “Ibu!!”, seruku.
“Kenapa? Ibu bawakan jus Strawberry kesukaanmu.. boleh ibu masuk?”, tutur Ibu, menatapku.
“Masuklah Ibu...”, ucapku.
Aku mempersilahkan Ibu masuk. Ngomong-ngomong aku rindu sekali pada Ayah. Seharian ini aku tak berjumpa dengan Ayah. Sewaktu tadi pagi, aku bangun saat sang mentari berukuran setonggak di atas kepalaku dan saatku mengejar Ayah, mobilnya melaju dengan kencang. Aku bahkan tidak bisa meneriakinya.
“Kenapa kamu tidak mau ikut berkunjung sayang?”, tanya Ibu, mengelusi rambutku.
Aku lebih suka bila sebelumnya ibu basa-basi dulu menanyakan keadaanku, kabar tentang hari ini, dan nilai-nialai ku di sekolah sebelum Ibu berbicara lurus pada inti pokok permasalahannya. Tapi nyatanya, Ibu terlalu berterus terang.
“Aku mau saja Ibu, tapi kakak selalu membicarakan lelaki tampan.. memang ada lelaki tampan lainnya ya selain Mark?”, erang ku, menggurau.
“Apa sayang, ucapkan lagi siapa?”, tanya Ibu, memperhatikan gerak-gerikku.
“Apa Ibu?”, tanyaku, seolah akulah yang paling benar.
“Kata-katamu yang barusan..”, erang Ibu, semakin menatapku.
“Apa Ibu?”, ucapku, meyakinkan.
Menarik nafas, “Hm,”, menyerah, “Baiklah, Ibu buatkan jadwal untukmu. Besok pulang sekolah kakakmu pasti sudah datang bersama Ramona. Kita tunggu Ayah pulang, barulah kita bersama-sama berkunjung ke tetangga baru kita. Oo ya, nama keluarga itu “Zhidkikh”.”, tutur Ibu, panjang lebar dengan begitu saja bergegas keluar dari kamarku.
Aku benar, kakak pasti kembali, dan rencanaku berkumpul bareng sahabatku gagal esok hari. Belum apa-apa ibu membuatkanku Itenarary dan aku harus menjalankannya. Nama keluarga itu “Zhidkikh”, apa urusanku? Tapi setidaknya namanya bagus, lumayan keren dari nama keluargaku yang tidak jelas. Sepertinya ke Arab-araban. Sekarang aku sedikit antusias seperti apa dan setampan apa sih wajah tetangga beruku itu sampai-sampai kakak memaksaku tak henti-hentinya menggodaku.
“Aku pulang...”, sahut Ayah.
Ini pukul 04.30 sore. Suara Ayahku sangat merdu. Suaranya melingkar melilit seluruh bagian rumah. Aku menuruni tangga untuk menjumpainya.

0 comments:

Post a Comment

"Thank You For Reading."

I Know Then

I know, if you had to know then I would break a part
the tears are out of my eyes everything I see is all lie
I wake in the morning up till the light shines through of the day.

I know, if you had known what I know now I would have taken time for our lives just to know you, to share, to keep you holding my heart

Then if the tragedy was going on, I would put the faith upon you and you will be forever put this heart inside of soul to find our own life bring it back to a brighter day to carry you far from home then to keep you safe.

Sincerely,

Megannov

Love In Town

Love In Town.

I'm feeling so wondering, everytime I breathe, just look around how far I be, nothing can change the rhythm, but the world is making it for me. now, I'm in London Bridge, then it's falling down, falling down. On my wall is just poster of Berlin, taking breath for one thing, and I got things that something I must keep for a good fact.

Walking down the streets of Puerto Rico, I left my heart in Sligo, some bad girls are in Miami, and I gotta really really love Stockhlom City. Those good things that Batavia has an evergreen, they break all the phenomenon in Cancun.

Each time or place, they're so sweet. Romantic is so fine, everyone can do it.

To love in town...

Created By Me.

P.S I dedicated this for my unforgettable friendlands, Egah and Amak.

Popular Posts

Click Below!

http://bogoreducare.org